Tidak
dapat dipungkiri, air adalah komponen terbesar penyusun bumi dengan 70 persen
wilayah lautan, yakni sekitar 361,1 juta kilometer persegi. Sedangkan daratan
hanya sebesar 148,9 kilometer saja. Air tersebut dipisah-pisahkan oleh daratan
benua yang disebut samudera. Apabila ditotal, ada lima samudera di muka bumi
ini. Gabungan dari lima samudera disebut World Ocean yang zaman dulu dikenal
dengan Pantalassa atau Samudra Pantalassik. lima samudera tersebut meliputi Samudera
Pasifik, Samudera Atlantik, Samudera Arktik, Samudera Hindia, Samudera
Antartika.
Air
mempunyai peran yang penting bagi makhluk di bumi, baik manusia, hewan dan
tumbuhan. Semua tidak dapat hidup tanpa adanya air, karena air adalah sumber
kehidupan di bumi. Berawal dari tetesan air hujan yang jatuh dari langit,
kemudian membasahi bumi, lalu pada akhirnya bermuara ke laut. Di sana, air
dengan volume besar dengan aneka biotanya berada. Kekayaan biota itu berupa
pelbagai jenis hewan penghuni laut seperti ikan-ikan, alga, terumbu karang,
mikroorganisme dan sebagainya.
Namun,
ketika zaman mengalami perubahan menuju modernisasi, muncul suatu masalah besar
yang berkaitan dengan lingkungan, baik perairan yaitu laut maupun daratannya. Masalah
ini sudah sejak lama muncul menjadi kisah klasik tetapi terus mengusik hingga
saat ini. Apalagi kalau bukan sampah plastik. Dalam siklus 11 tahun, jumlah
plastik mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dengan kemasan dan bungkus
makanan atau minuman menjadi penyumbang sampah plastik terbanyak. Bukan sekadar
sampah, plastik adalah sampah yang paling berbahaya karena bersifat laten. Ada
bahan pencemar lingkungan yang terdapat dalam plastik, yaitu polimer polivinil yang terbuat dari polychlorinated biphenyl dan sulit untuk
diurai tanah.
Plastik
membutuhkan waktu hingga berabad-abad lamanya agar bisa terurai dengan tanah
secara komprehensif. Tentu dalam proses peruraian yang lama tersebut ada dampak
negatif lain yang membersamainya. Misalnya adalah tanah menjadi tidak subur.
Selain itu, hadirnya sampah plastik menurunkan tingkat keestetisan yang berarti
lingkungan menjadi tidak sedap dipandang. Lingkungan menjadi tidak sehat akibat
sampah plastik yang bertebaran di sudut-sudut tempat tertentu.
Sampah
plastik lebih besar dampaknya ketika berada di laut, mengapa? Sebab air yang
ada di laut dapat melarutkan partikel plastik menjadi mikroplastik, sehingga
dapat menyebar ke seluruh perairan. Padahal, kandungan polychlorinated biphenyl apabila masuk ke dalam tubuh maka akan
menjadi toxic atau racun. Tubuh ikan
yang terdapat mikroplastik, lama-kelamaan akan mengendap dan menimbulkan
penyakit pada ikan tersebut. Apabila ikan yang terkontaminasi plastik itu
dikonsumsi oleh manusia, maka tubuh manusia pada akhirnya juga terkena dampak
negatifnya.
Manusia
yang mengonsumsi ikan terkontaminasi mikroplastik juga dapat mengganggu hormon
hingga pestisida, yang dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh. Hal ini menghambat
pertumbuhan tubuh dan reproduksi manusia. Dari kesemua dampak yang telah
disebutkan diatas, ternyata masih ada dampak lain yang jauh lebih besar
pengaruhnya. Apakah itu? Yakni ekosistem yang ada di laut. Bukan hanya
ikan-ikan saja yang terkontaminasi, tetapi juga seluruh elemen yang berada di
bawah laut.
Sampah
di laut akan memengaruhi kehadiran hewan laut kecil seperti plankton yang merupakan
makanan paus. Berkurangnya plankton yang menjadi makanan paus itu akan
memengaruhi keberlangsungan hidup mamalia tersebut. Tidak sampai di situ,
sampah juga mempengaruhi perkembangan terumbu karang. Sampah di lautan mampu
menghalangi sinar matahari masuk ke dalam lautan karena terumbu karang
membutuhkan cahaya untuk berfotosintesis. Dengan kata lain, kehadiran sampah
bisa mengganggu perkembangan biota laut.
Perlu
digaris bawahi bahwa laut bukan tempat pembuangan sampah terbesar. Sebab, masih
banyak paradigma-paradigma kurang tepat yang berkembang di masyarakat yang merujuk
pada laut adalah tempat paling efisien untuk dijadikan tempat pembuangan
sampah. Tentu paradigma yang demikian harus segera dibenahi dan diluruskan agar
tidak ada lagi yang berpikiran keliru tentang laut, hingga dengan tanpa rasa
bersalah membuang sampah sembarangan ke laut. Di sini perlu ditanamkan rasa
kesadaran yang tinggi pada tiap-tiap masyarakat, terutama mereka yang
berdomisili di sekitar perairan, bahwa membuang sampah di laut adalah tindakan
yang tercela.
Penanggulangan versi Indonesia
Indonesia
dikenal sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ke dua di dunia. Lautnya
pun sangat luas mencapai 6,32 juta
km2. Sebab fakta tersebut, tidak ayal apabila Indonesia mendapat julukan negara
surganya bawah laut. Perlu dipahami bahwa meskipun Indonesia memiliki kekayaan
biota bawah laut yang hebat, tidak menutup kemungkinan ada suatu kesalahan atau
miss action yang berpotensi munculnya
problem-problem yang hingga kini belum dapat terselesaikan.
Tidak jauh berbeda dengan problem laut global,
problem utama tentang laut di Indonesia sebagian besar juga menyinggung tentang
sampah plastik. Apalagi menurut data Jambeck (2015), Indonesia dinobatkan
sebagai negara peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang
mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Tidak
bisa dibayangkan bukan bagaimana keadaan biota laut Indonesia sekarang ini
dengan jutaan ton sampah yang setiap hari mengintai laut pertiwi?
Oleh
sebab itu, Indonesia telah menyusun rencana-rencana strategis yang terbingkai
dalam Rencana Aksi Nasional untuk menangani masalah ini. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa Indonesia akan berkomitmen dalam
menangani sampah laut. Terkait dengan pengurangan polusi laut dari kegiatan
berbasis darat, Indonesia berkomitmen mengurangi limbah padat hingga 70 persen
pada tahun 2025. Tinggal bagaimana hasilnya apakah berhasil atau tidak juga
tergantung dengan masyarakat, karena tindakan membuang sampah di laut seakan
menjadi kebiasaan (habbits) sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk benar-benar mengubahnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar: